KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis
sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas GIZI
MASYARAKAT dalam bentuk makalah ini yang mengangkat permasalahan “Kekurangan Enegri Protein”
Kami menyadari bahwa dalam penulisan ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan penulisan
makalah selanjutnya.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah dari awal
sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Makassar,
1 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR………………………..…………………………………i
DAFTAR ISI………..…………………………….……………………………ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………....……………………….…………..1
B.
Rumusan
Masalah…………………………………….………...….….3
C.
Tujuan
Penulisan……………………………………………………...3
BAB
II TEORI KEPUSTAKAAN
A. Defenisikekurangan energi protein.……………..............………….....4
B. Klasifikasi Kekuragan Energi
Potein……………................………....6
C. Patofisiologi Kekurangan Energi
Protein………......………………....8
D. Kekurangan Energi Protein di
Indonesia..................................……...11
E. Kekurangan Energi Protein di
Afrika..................................................17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………..29
B. Saran ……………………………………………………………......30
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kekurangan Energi Protein
(KEP) merupakan masalah gizi tertinggi di dunia. KEP adalah seseorang yang
kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya komsumsi energi dan protein dalam
makanan sehari-hari atau gangguan penyakit –penyakit tertentu. Anak
tersebut kurang energi protein (KEP) apabila berat badanya kurang dari 80 %
indek berat badan/umur baku standar,WHO –NCHS, (DEPKES RI,2014).
Afrika masih memegang rekor dengan
Negara-negara dengan malnutrisi tertinggi dan salah satu Negara di Afrika yang paling mengalami malnutrisi
di dunia adalah Nigeria, memang benar bahwa ada program gizi keluarga telah
didirikan pada tahun 2008, dan itu masih berlangsung, tetapi 1/6 dari populasi
negara itu menderita kelaparan kronis dimana terdapat 3,8 juta anak-anak yang
mati setiap tahunnya. Bahkan, sangat memprihatinkan juga bahwa sesuai dengan
perhitungan bahwa jika ini akan terus berlanjut dalam 15 tahun ke depan 450
juta orang akan menderita malnutrisi, dan kematian. Menurut baru-baru ini Demografi Nasional dan Survei
Kesehatan (NDHS) di Nigeria, 37% dari
anak di bawah lima terhambat, 18% adalah terbuang dan 29% kekurangan berat badan (NDHS
2014). Di timur selatan Nigeria, marasmus adalah bentuk paling umum dari energi
protein malnutrion.
Kemudian disusul oleh Etiopia dengan angka kematian bayi
yang tinggi yaitu sekitar 10%, dan orang-orang hanya bisa hidup sampai 42
tahun. Afganistan dengan 29,5% didiagnosis kekurangan gizi, dan 30% dari mereka
menderita karena kelaparan serta disusul beberapa negara lainnya seperti Mozambik, Rwanda, Burkina Faso, Burundi,
Kamboja dan Angola.
Masalah gizi bukan hal yang lazim lagi, masalah gizi sudah sangat
merajalelah disetiap negara terlebih di negara berkembang, salah satunya negara
yang berada di Asia tenggara yakni Kamboja yang berada di urutan ke-9 di dunia.
Negara Kamboja adalah salah satu Negara termiskin di Asia Tenggara ada
sekitar 40% dari gizi buruk di seluruh negeri, dan sebagian besar orang-orang
yang sangat menderita adalah anak-anak di bawah usia 5 tahun.
Selain Kamboja,
Indonesia juga mengalami hal yang sama namun kasus tak sebanyak Kamboja.Masalah
gizi , terutama Kekurangan Energi Protein (KEP) merupakan masalah gizi utama di
Indonesia dengan kasus tertinggi di duduki oleh Nusa Tengga Timur 33,6% sedangkan terendah Derah Istimewa
Yogyakarta 10,1%. Kekurangan energi protein lebih banyak menyreang Anak.
Kurang Energi Protein
(KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan harian sehingga tidak mencukupi Angka Kecukupan Gizi
(Soegiyanto, 2007).
Anak balita dengan KEP
tingkat berat akan menunjukan tanda klinis kwaskiokhor dan marasmus. Masalah
KEP sebenarnya hampir selalu berhubungan dengan masalah pangan. Berdasarkan
data Susenas, dari 5 juta anak (27%), 3,6 juta anak (19,2 %)
mengalami KEP. KEP itu sendiri dapat digolongkan menjadi KEP tanpa gejala
klinis dan KEP dengan gejala klinis. Secara garis besar tanda klinis berat dari
KEP adalah Marasmus, Kwashiorkor, dan Marasmus-Kwashiorkor.
B.
Rumusan
Masalah
Beberapa hal
yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan makalah ini adalah:
1.
Apa defenisi dari
Kekurangan Enrgi Protein?
2.
Apa saja klasifikasi dari
Kekurangan Energi Protein?
3.
Patofisiologi
Kekurangan Energi Protein?
4.
Bagaimana Epidemiologi
KEP di Indonesia?
5.
Bagaimana Epidemiologi
KEP di Afrika?
C.
Tujuan
Umum dan Khusus
1. Tujuan
umum
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mendapatkan
gambaran epidemiologi, distribusi, frekuensi, determinan, isu dari Kekurangan
Energi Protein (KEP) terhadap negara Indonesia dan Afrika.
2. Tujuan
khusus
a. Agar
dapat mengetahui defenisi KEP.
b. Agar
dapat mengetahui klasifikasi dari KEP.
c. Patofisiologi
Kekurangan Energi Protein?
d. Agar
dapat mengetahui epidemiologi KEP di Indonesia.
e. Agar
dapat mengetahui epidemiologi KEP di Afrika.
BAB II
TEORI KEPUSTAKAAN
A.
Defenisi
Kekurangan Energi Protein
Kurang Energi Protein (KEP) adalah
seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya komsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari-hari atau gangguan penyakit –penyakit
tertentu. Anak tersebut kurang energi protein (KEP) apabila berat badanya kurang
dari 80 % indek berat badan/umur baku standar,WHO –NCHS, (DEPKES RI,1997).
Kurang energi protein (KEP) yaitu
seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi
protein dalam makan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu sehingga
tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG). Kurang energy protein merupakan
keadaan kuang gizi yang disebakan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Depkes
1999). KEP itu sendiri dapat digolongkan menjadi KEP tanpa gejala klinis dan
KEP dengan gejala klinis. Secara garis besar tanda klinis berat dari KEP adalah
Marasmus, Kwashiorkor, dan Marasmus-Kwashiorkor.
Sedangkan menurut Jellife (1966)
dalam Supariasa, I.D.Nyoman (2002) dikatakan bahwa KEP merupakan istilah umum
yang meliputi malnutrition, yaitu gizi kurang dan gizi buruk termasuk marasmus
dan kwashiorkor.
KEP merupakan salah satu penyakit
gangguan gizi yang disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam
proporsi yang berbeda-beda, pada derajat yang ringan sampai berat.
Beberapa pengertian Kurang Energi Protein (KEP):
1.
KEP adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari
dan atau gangguan penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan
Gizi (AKG). Disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80 % indeks berat
badan menurut (BB/U) baku WHO-NCHS.
2.
Istilah Kurang Energi Protein (KEP)
digunakan untuk menggambarkan kondisi klinik berspektrum luas yang berkisar
antara sedang sampai berat. KEP yang berat memperlihatkan gambaran yang pasti
dan benar (tidak mungkin salah) artinya pasien hanya berbentuk kulit pembungkus
tulang, dan bila berjalan bagaikan tengkorak (Daldiyono dan Thaha, 1998).
3.
KEP adalah gizi buruk yang merupakan suatu istilah teknis
yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk
itu sendiri adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan
gizi menahun atau kekurangan gizi tingkat berat. Gizi buruk yang disertai
dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus, kwashiorkor dan kombinasi marasmus
kwashiorkor (Soekirman (2000).
4.
KEP terjadi manakala kebutuhan tubuh
akan kalori dan protein atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. Kedua bentuk
defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun salah satu lebih
dominan ketimbang yang lain.
Almatsier (2004) mengatakan KEP
adalah sindroma gabungan antara dua jenis kekurangan energi dan protein, dimana
sindroma ini merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia.
Beberapa
tipe Kurang Energi Protein (KEP) dapat disebutkan, bahwa KEP atau gizi buruk
pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Masih seperti
anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan
seksama badannya mulai kurus. Sedangkan bagi KEP yang tingkat berat yang
disertai dengan gejala klinis disebut marasmus atau kwashiorkor, dimasyarakat
lebih dikenal sebagai “busung lapar”.
Jika
kondisi KEP cukup berat dikenal dengan istilah marasmus dan kwashiorkor,
masing-masing dengan gejala yang khas, dengan kwashiorkor dan marasmik
ditengah-tengahnya. Pada semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat gangguan
pertumbuhan disamping gejala-gejala klinis maupun biokimiawi yang khas bagi
tipenya. Klasifikasi KEP digunakan untuk menentukan prevalensi KEP disuatu
daerah dengan melihat derajat beratnya KEP, hingga dapat ditentukan persentase
gizi kurang dan berat di daerah tersebut (Pudjiadi, 2005).
B.
Klasifikasi
Kekurangan Energi Protein
Terdapat 3 tipe gizi
buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor. Perbedaan tipe
tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe
yang berbeda-beda.
1.
Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat.
Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat
lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah
patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare),
pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis
meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada
marasmus adalah (Depkes RI, 2000) :
a. Anak
tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya, tinggal
tulang terbungkus kulit
b. Wajah
seperti orang tua
c. Iga
gambang dan perut cekung
d. Otot
paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng
dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
2.
Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger
baby), bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan
protein, walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya
atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai
seluruh tubuh
a. Perubahan
status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut
tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada penyakit
kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c. Wajah
membulat dan sembab
d. Pandangan
mata anak sayu
e. Pembesaran
hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada
rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f. Kelainan
kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat kehitaman
dan terkelupas
3.
Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala
klinik kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung
protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian
disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan
tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan
kelainan biokimiawi terlihat pula (Depkes RI, 2000).
C.
Patofisiologi
Kekurangan Energi Protein
Patofisiologi gizi buruk pada balita
adalah anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi karena penyakit
akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan, pengaturan makanan
dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A,
vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan nutrisi yang
penting bagi rambut. Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi
karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada retina ada sel batang dan sel
kerucut. Sel batang lebih hanya bisa membedakan cahaya terang dan gelap. Sel
batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika
cahaya terang mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel
tersebut akan mengumpul lagi pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut
adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena
kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin.
Turgor atau elastisitas kulit jelek
karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella negatif terjadi karena
kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan degenerasi saraf motorik akibat
dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter. Sedangkan,
hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan
protein, maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat
penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka lemak yang ada di
hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di
hepar.
Tanda khas pada penderita kwashiorkor
adalah pitting edema. Pitting edema adalah edema yang jika
ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh
kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini
terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke
intertisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada
kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi
menjaga keseimbangan cairan tubuh.
Pada penderita kwashiorkor, selain
defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma
pada intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran
sel dan mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang
rapat. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya
gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik (Sadewa, 2008).
Sedangkan menurut Nelson (2007),
penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena
: diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti hubungan
orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan metabolik atau malformasi
kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan
makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan ada beberapa faktor lain
pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap
terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai
berikut :
1.
Masukan
makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit,
pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari
ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng
yang terlalu encer.
2.
Infeksi
yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya infantil
gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis
kongenital.
3.
Kelainan
struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschpurng,
deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus
hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas
4.
Prematuritas
dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI kurang
akibat reflek mengisap yang kurang kuat
5.
Pemberian
ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup
6.
Gangguan
metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia,
lactose intolerance
7.
Tumor
hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila
penyebab maramus yang lain disingkirkan
8.
Penyapihan
yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang kurang akan
menimbulkan marasmus
9.
Urbanisasi
mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus, meningkatnya
arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan kemudian
diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari
tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama
gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.
D. Kekurangan Energi Protein di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang berada
di Asia Tenggara, dengan jumlah penduduk yang sangat tinggi. Berbagai masalah
muncul dinegara kita ini. Salah satunya yakni masalah kasus gizi. Kasus gizi
buruk ternyata masih ada, salah satunya Kekurangan Energi Protein tercacat
sebagai permasalahn gizi utama di Indonesia. Bahkan di Yogyakarta dan Bali,
yang mempunyai angka prevalensi masalah gizi balita terendah (Riskesdas 2007).
Prevalensi status gizi balita < -2 SD berdasarkan indeks Berat Badan menurut
Umur (BB/U) di Provinsi Bali sebesar 11.4%, sedangkan DIY sebesar 10.0%.
Bandingkan dengan angka Nasional sebesar 18.4%, dan angka tertinggi di Provinsi
NTT sebesar 33.6%. Tahun 2009, di Bali ditemukan 49 kasus dan di Yogyakarta 27
kasus.
Menurut hasil
pemantauan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan, selama tahun
2005 sampai dengan 2009, jumlah temuan kasus balita gizi buruk amat
berfluktuasi. Tahun 2005-2007 jumlah kasus cenderung menurun dari 76178, 50106,
dan 39080. Akan tetapi tahun 2007 dan 2008 cenderung meningkat yaitu 41290 dan
56941.
Yang menarik,
terdapat empat provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan
Gorontalo yang selalu hadir berturut-turut dari 2005-2009. Provinsi NTT pada
tahun 2005, 2007 dan 2008 , menduduki posisi teratas sedangkan tahun 2006 dan
2009 masing-masing ditempati Jawa Tengah dan Jawa Timr.Keempat provinsi
tersebut selama 5 tahun berturut-turut (2005-2015) masuk ke dalam kategori 10
provinsi dengan kasus tertinggi. Kondisi ini sebaiknya menjadi bahan
pertimbangan untuk menempatkan keempat provinsi tersebut sebagai prioritas
utama upaya penanggulangan gizi buruk. Berikut gambaran perkembangan jumlah
kasus di empat provinsi
Faktor Penyebab KEP di
Indonesia
Pada umumnya
kekurangan gizi lebih banyak terdapat di daerah pedesaan dari pada di daerah
perkotaan. Tingginya prevalensi gizi buruk berhubungan erat dengan tingginya
kematian balita. Menurut World Health Organization (WHO) 54% kematian
balita disebabkan oleh gizi kurang pada balita dengan pravalens tertingi adalah
KEP dengan Marasmus.
Faktor
penyebab KEP sendiri di ndonesia yakni, Penyebab langsung adalah asupan gizi
dan penyakit infeksi. Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan yang kurang
tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi
sering menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi.
Demikian juga pada anak yang makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka
daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian akan mudah diserang
infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang
gizi/gizi buruk.
Penyebab tidak
langsung adalah ketahanan pangan tingkat keluarga, pola pengasuhan anak, serta
pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga
(household food security) adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik
jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan
masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar
dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial.
Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan
sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang
membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga factor penyebab tidak
langsung saling berkaitan dengan tingkat pendidikan,pengetahuan, dan
keterampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan
kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola
pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang ada, demikian juga sebaliknya.
Ketahanan
pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi
sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli
keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Sebagai contoh, air
susu ibu (ASI) adalah makanan bayi utama yang seharusnya tersedia di setiap
keluarga yang mempunyai bayi. Makanan ini seharusnya dapat dihasilkan oleh
keluarga tersebut sehinggatidak perlu dibeli. Namun tidak semua keluarga
dapat memberikan ASI kepada bayinya oleh karena berbagai masalah yang dialami
ibu. Akibatnya, bayi tidak diberikan ASI atau diberi ASI dalam jumlah yang
tidak cukup sehingga harus diberikan tambahan makanan pendamping ASI (MP-ASI).
Timbul masalah apabila oleh berbagai sebab, misalnya kurangnya pengetahuan dan
atau kemampuan, MP-ASI yang diberikan tidak memenuhi persyaratan. Dalam keadaan
demikian, dapat dikatakan ketahanan pangan keluarga ini rawan karena tidak
mampu memberikan makanan yang baik bagi bayinya sehingga berisiko tinggi
menderita gizi buruk.
Pola
pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal
kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih
sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal
kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan
keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau
dimasyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan
masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak.
Pelayanan
kesehatan, adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya
pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan
kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan
gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek
bidan atau dokter, rumah sakit, dan pesediaan air bersih. Tidak terjangkaunya
pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya
pendidikan dan pengetahuan merupakan kendala masyarakat dan keluarga
memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat
berdampak juga pada status gizi anak.
Berbagai
faktor langsung dan tidak langsung penyebab gizi kurang, berkaitan dengan pokok
masalah yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat nasional. Pokok
masalah di masyarakat antara lain berupa ketidakberdayaan masyarakat dan
keluarga mengatasi masalah kerawanan ketahanan pangan keluarga, ketidaktahuan
pengasuhan anak yang baik, serta ketidakmampuan memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang tersedia.
Perilaku :
Ketahanan pangan tingkat rumah tangga yang tidak
memadai. Kajian pemantauan konsumsi makanan tahun 1995 sampai dengan 1998,
menyimpulkan 40-50% rumah tangga mengkonsumsi energi kurang dari 1500 Kkal dan
25% rumah tangga mengkonsumsi protein 32 gram per orang per hari atau
mengkonsumsi <70% dari kecukupan yang dianjurkan. (Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi/WKNPG, 2000). Berdasarkan SP 2000, diperkirakan jumlah rumah
tangga adalah 51.513.364, berarti masalah ketahanan pangan melanda 20-25 juta
rumah tangga di Indonesia. Walaupun ada perbaikan pada tahun 2003 terhadap
ketahanan pangan rumah tangga, kajian ini masih menujukkan rasio pengeluaran
pangan terhadap pengeluaran total keluarga yang masih tinggi. Paling tidak
Indonesia masih menghadapi 20% kabupaten di perdesaan dimana rasio ini masih
>75%, dan 63% kabupaten dengan rasio pengeluaran pangan/non pangan antara
65-75%.
Lingkungan :
Kajian kesehatan lingkungan dilakukan dari data Susenas
1996, 1999, dan 2003 dengan menghitung proporsi rumah tangga yang mempunyai
akses air bersih, rumah tangga dengan lantai tanah, dan rumah tangga tanpa
sanitasi. Figure 22 menunjukkan tidak terjadi perubahan yang menyolok dari
tahun 1996 ke tahun 2003 hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Pada umumnya
rumah tangga di daerah Indonesia Timur mempunyai kondisi yang lebih buruk
dibanding Sumatera dan Jawa. Hampir 40% rumahtangga di NTB, NTT, Maluku, Papua,
dan Sulawesi berkondisi tanpa sanitasi yang memadai. Hanya di Sumatera ada
peningkatan 13% rumah tangga dari tahun 1999 ke tahun 2003 yang mempunyai akses
air bersih.
Kependudukan :
Tingginya angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan
sanitasi, lingkungan, dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai, disertai
dengan cakupan imunisasi yang masih belum universal. Penyakit infeksi penyebab
kurang gizi pada balita antara lain ISPA dan diare. Hasil SDKI tahun 1991, 1994
dan 1997 prevalensi ISPA tidak menurun yaitu masing-masing 10%, 10% dan 9%.
Bahkan hasil SKRT 2001 prevalensi ISPA sebesar 17%. Sedangkan prevalensi diare
SDKI 1991, 1994 dan 1997 juga tidak banyak berbeda dari tahun ketahun yaitu
masing-masing 11%, 12% and 10%; dan hasil SKRT 2001 adalah sebesar 11%.
Pelayanan
kesehatan :
Cakupan program perbaikan gizi pada umumnya rendah,
banyak Posyandu yang tidak berfungsi. Pemantauan pertumbuhan hanya dilakukan
pada sekitar 30% dari jumlah balita yang ada.Rendahnya pembiayaan untuk
kesehatan baik dari sektor pemerintah dan non-pemerintah (tahun 2000: Rp
147.0/kapita/tahun), demikian juga pembiayaan untuk gizi (tahun 2003: Rp
200/kapita/tahun).
E. Kekurangan Energi Protein di Afrika
Dampak gizi buruk biasanya jatuh terutama pada anak
balit. Secara konseptual berbicara, kekurangan gizi umumnya melibatkan gizi dan
obesitas. Afrika akan melalui cepat transisi sosiodemografi, dengan peningkatan
yang mengkhawatirkan dalam insiden obesitas, diabetes mellitus, penyakit
kardiovaskular (stroke dan infark miokard).
Fokus utama kami akan berada di bawah gizi. Meskipun
perkembangan milenium tujuan menargetkan untuk mengurangi rasa lapar
setengahnya pada tahun 2015, kegagalan utama telah dicatat terutama di Afrika.
Dari 800 juta orang masih menderita kelaparan di dunia, lebih dari 204 juta
berasal dari Afrika Sub-Sahara. Situasi saat ini semakin parah di wilayah ini
karena pindah dari 170.4 juta orang kelaparan di tahun 1990 menjadi 204 juta
pada tahun 2002 . Ini peningkatan secara umum telah dikaitkan dengan
kemiskinan, buta huruf, kebodohan, ukuran keluarga besar, perubahan iklim,
kebijakan dan korupsi.
Penyakit infeksi merupakan penyebab
utama mortalitas dan morbiditas
di negara-negara berkembang. PEM juga dikaitkan dengan sejumlah co morbiditas
seperti infeksi saluran pernapasan bawah termasuk TBC, penyakit diare, malaria
dan anemia. Morbiditas dapat memperpanjang durasi tinggal di rumah sakit dan
kematian antara anak-anak yang terkena dampak
Keamanan pangan di Sub-Sahara Afrika
Ketahanan pangan dikatakan ada
jika setiap saat, orang memiliki fisik
dan akses ekonomi untuk makanan yang cukup, aman dan bergizi yang memenuhi makanan dan makanan preferensi
mereka, untuk aktif dan sehat
kehidupan. Kondisi ini berlangsung telah disebabkan oleh sejumlah faktor termasuk hambatan distribusi, perubahan
iklim global, kurangnya sebuah
pertanian lokal yang sukses, dan ketidakmampuan atau ketidaktertarikan
untuk bertindak oleh pejabat setempat.
Situasi telah lebih rumit oleh teratur dan
efisien respon internasional. makanan yang berlebihan bantuan tanpa desakan menjamin keberlanjutan
telah dikutip oleh beberapa penulis sebagai faktor mengabadikan ini sakit di
Sub Sahara Afrika.
Kelompok tertentu sangat rentan
terhadap makanan ketidakamanan, termasuk perempuan (pendapatan terutama rendah
hamil dan wanita menyusui), korban konflik, para, pekerja migran sakit, rendah pendapatan
penduduk kota, orang tua, dan anak-anak di bawah lima tahum. Dukungan untuk
pertanian lokal dan regional, metode prediksi iklim, bantuan keuangan untuk
pembangunan dan infrastruktur, dan lebih bersatu inisiatif bantuan akan
memimpin Sub Sahara Afrika menuju berkelanjutan dan sumber makanan yang dapat
diandalkan dan masa depan yang lebih aman.
Tapi yang lebih
penting, solusi ini akan menyebabkan berkurangnya ketergantungan pada
bantuan makanan asing dan lebih mengandalkan solusi dari dalam Sub Sahara
Afrika. Pembentukan benar berfungsi ekonomi dan struktur politik akan membantu
untuk memimpin negara untuk keamanan pangan, serta membantu untuk meningkatkan
kesejahteraan secara keseluruhan orang-orang.
Akar penyebab gizi buruk di Sub
- Sahara Afrika :
Kemiskinan
Childers et al memperkirakan
bahwa sekitar 1,4 miliar orang kini tinggal di kemiskinan absolut, 40% lebih
dari 50 tahun yang lalu. Hampir satu dari setiap empat manusia hidup hari ini
hanya ada di pinggiran kelangsungan hidup, terlalu miskin untuk mendapatkan
makanan yang mereka butuhkan untuk bekerja, atau cukup tempat tinggal, atau
perawatan kesehatan minimal, biarkan pendidikan saja untuk anak-anak mereka
Kemiskinan adalah salah lagi
faktor pendorong dalam kurangnya sumber daya untuk membeli atau pengadaan
makanan, tetapi akar penyebab kemiskinan adalah multifaset. Kemiskinan,
dikombinasikan dengan lainnya
masalah sosial ekonomi dan politik, membuat sebagian besar makanan ketidakamanan
di seluruh dunia. perbedaan distribusi pangan kebetulan menjadi faktor
pendorong utama dalam mengabadikan kekurangan makanan di sebagian besar wilayah
Sub Sahara Afrika.
Malnutrisi pada anak-anak
adalah diketahui memiliki efek jangka panjang yang penting pada kapasitas kerja
dan kinerja intelektual orang dewasa. Konsekuensi kesehatan nutrisi yang tidak
memadai sangat besar. Diperkirakan bahwa hampir 30% dari bayi, anak-anak,
remaja, dewasa dan lansia menderita satu atau lebih dari beberapa orang entuk
malnutrisi, 49% dari 10 juta kematian di antara anak-anak berusia kurang dari 5 tahun setiap tahun di
negara berkembang yang terkait dengan malnutrisi, lain 51% dari mereka yang
terkait dengan infeksi dan penyebab lainnya
Berfokus pada anak di bawah
usia lima tahun, yang paling dipengaruhi oleh gizi buruk di Afrika Sub Sahara,
lingkaran setan memiliki telah dijelaskan untuk benar-benar ada antara
kemiskinan dan kekurangan gizi.
Bahkan, Bank Dunia memperkirakan bahwa pada individu rata-rata menderita
kekurangan gizi kehilangan 10 persen dari potensi mereka pendapatan seumur
hidup. Hal ini memiliki dampak yang lebih luas juga; pada bagian yang sama
melaporkan Bank Dunia menemukan bahwa negara bisa kehilangan 2-3 persen
dari GDP mereka karena kekurangan gizi.
Pendidikan dan malnutrisi
Meningkatkan status pendidikan
dari orang tua, terutama ibu, tentang gizi, sanitasi dan strategi pencegahan
penyakit yang umum harus logis mengurangi angka kematian gizi buruk terkait dan
morbiditas. Dikatakan bahwa cara untuk perut anak adalah melalui pikiran ibu. Kualitas
makanan yang diambil, pilihan dan kuantitas semua pada kebijaksanaan ibu atau
care giver.
Masalah ini sangat penting
dalam Sub Sahara Afrika, di mana akses ke pendidikan formal untuk anak
perempuan di komunitas tertentu masih pembakaran utama tantangan. Beban
malnutrisi telah langsung terkait dengan
kemiskinan, kualitas asupan makanan, penyakit yang berlebihan dan
kesehatan yang buruk
Status Hubungan antara
pendidikan dan kemiskinan terlalu dekat, dan hampir terintegrasi ke dalam
siklus virtual Ketidaktahuan, Penyakit dan kemiskinan. Pendidikan bisa membantu
mengurangi terlalu besar ukuran keluarga
yang biasanya terlihat di sebagian besar wilayah Sub Sahara Afrika. Sebuah komunitas miskin keyakinan
budaya tertentu mungkin tidak benar-benar menyadari bahwa melahirkan sejumlah
lebih sedikit dari anak-anak mungkin benar-benar membantu mereka untuk
mencocokkan sumber daya mereka terbatas, dan juga menawarkan memadai dan
kualitas gizi untuk keluarga.
Musgrove et al menjelaskan tiga
cara penting kebodohan itu dan kurangnya pendidikan berkontribusi terhadap
kekurangan gizi. pertama mungkin tahu sedikit tentang vitamin atau nutrisi, dan
mereka gagal untuk makan bahkan murah dan tersedia yang. Kedua, ketidaktahuan
tentang penyebab Penyakit dan konsekuensinya. Pengobatan dan pencegahan Pilihan
mungkin sebagian besar waktu sangat mudah,murah dan higienis miskin
kondisi dan ketidakmampuan untuk mengontrol beberapa parasit usus (Ascaris
Lumbricoides dan cacing kait) memiliki dampak serius di bersaing untuk nutrisi
dengan tuan rumah, menyebabkan anemia dan menekan nafsu makan. Besar penurunan
kinerja sekolah antara anak-anak yang terinfeksi oleh parasit ini telah dilaporkan.
Ketiga, beberapa orang mungkin
tidak tahu tentang cara merawat mereka
anak-anak karena mereka mungkin meremehkan praktik sehat seperti menyusui,
menawarkan vitamin dan lainnya mikronutrien makanan kaya
untuk anak-anak mereka
Perbaikan dalam pendidikan
perempuan memiliki kontribusi yang paling akuntansi untuk 43 persen dari penurunan
gizi buruk anak antara tahun 1970 dan 1995 sementara perbaikan per ketersediaan
pangan kapita berkontribusi sekitar 26 persen.
Perubahan iklim
Untuk Sub-Sahara Afrika,
Komprehensif Perubahan Iklim skenario studi yang dilakukan oleh Food Policy
Internasional Research Institute (IFPRI) memprediksi suhu secara konsisten
lebih tinggi dan perubahan curah hujan campuran untuk periode 2050. dibandingkan
dengan skenario iklim yang bersejarah, perubahan iklim akan menyebabkan
perubahan dalam hasil dan pertumbuhan daerah, harga pangan yang lebih tinggi
dan karena itu lebih rendah keterjangkauan makanan, ketersediaan kalori
berkurang, dan tumbuh
kekurangan gizi anak di Sub-Sahara Afrika.
Perubahan iklim merupakan
ancaman utama bagi dekade mendatang, terutama di Afrika yang memiliki ekonomi
yang lebih sensitif iklim daripada benua lainnya. Beberapa daerah di Afrika
telah menjadi kering selama abad terakhir (misalnya Sahel) dan diproyeksikan
bahwa benua akan mengalami kuat suhu meningkat dari rata-rata global.
Afrika telah sering
diidentifikasi sebagai salah satu dari daerah yang paling rentan terhadap
variabilitas iklim dan perubahan karena beberapa tekanan dan ketahanan rendah,
yang timbul dari kemiskinan endemik, institusi yang lemah, serta kekeringan
berulang dan terkait keadaan darurat yang kompleks dan konflik. Iklim terkait risiko
memiliki dampak signifikan pada populasi Afrika dan ekonomi dan mendorong
alokasi besar untuk sumber daya darurat. Dibawah nutrisi pada gilirannya
merusak ketahanan masyarakat yang rentan penurunan kemampuan mereka untuk
mengatasi dan beradaptasi dengan konsekuensi perubahan iklim dan kemampuan
mereka tumbuh secara ekonomi.
Variabilitas iklim dan
perubahan jauh mempengaruhi guncangan, dan musiman yang diamati dan diprediksi
di Afrika Sub-Sahara negara, dan yang mewakili sumber ancaman dalam kehidupan
dan pencaharian masyarakat terkena. Peningkatan suhu menguras tanah air yang
lebih cepat dan dapat menyebabkan air daerah kelangkaan, salinisasi lahan
pertanian, dan penghancuran tanaman. Karena suhu meningkat, curah hujan menjadi
lebih
variabel lebih dari sebagian besar Afrika. Untuk beberapa daerah,
variabilitas curah hujan dan ketidak pastian
telah substansial di masa lalu empat puluh lima puluh tahun.
Menurut Boko et al, telah ada
tahunan keseluruhan penurunan curah hujan yang diamati sejak akhir tahun
1960-an di Afrika dengan beberapa daerah mengalami penurunan yang lebih besar
daripada yang lain. Untuk Misalnya, Sahel dan Afrika Selatan telah menjadi
lebih kering selama abad kedua puluh.
Kebijakan pemerintah, semangat politik dan korupsi
Menanggulangi gizi buruk secara
langsung berhubungan dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) 1
(menghilangkan rasa lapar), MDG 4 (mengurangi angka kematian anak) dan MDG 5
(mengurangi angka kematian ibu). Bahkan, pencapaian banyak tujuan-tujuan ini
pada manusia pengembangan engsel pada
penghapusan kekurangan gizi, karena
dampak pada kesehatan, produktivitas dan prestasi pendidikan.
Namun, sebagian besar
pemerintah Afrika telah baik diremehkan, dirusak atau memiliki sikap suam-suam
kuku sehubungan dengan investasi dan memastikan pengentasan gizi buruk. Korupsi
adalah tertinggi di Sub Daerah Sahara, dengan sumber daya terkonsentrasi di
tangan beberapa. Perang melawan sakit ini dalam beberapa tahun terakhir telah
menghasilkan sangat
hasil yang tidak signifikan. Penyalahgunaan dana negara dan korupsi telah
menyebabkan perpecahan di antara masyarakat, perang dengan pembunuhan
besar-besaran, belanja peralatan perang yang mahal, pemiskinan lebih lanjut
dari populasi, memperparah beban dan konsekuensi malnutrisi di bagian dunia.
Kebijakan nasional Pemerintah
dan lembaga internasional selama beberapa dekade terakhir telah diabaikan
pembangunan pedesaan dan pertanian SSA. Kebijakan seperti program penyesuaian
struktural yang bertujuan untuk menutup kesenjangan anggaran, menciptakan
defisit pembangunan manusia besar, terutama di kalangan alokasi miskin, dan
miring dari pendapatan nasional dan bantuan luar negeri sehingga bahwa
pertanian dan gizi diabaikan. Usaha pertama untuk mengatasi masalah kerawanan
pangan melalui lebih dari sekedar makanan bantuan dalam SSA adalah melalui
"Freedom from Hunger Campaign", diprakarsai oleh FAO dan badan-badan
pembangunan lainnya.
Kampanye berusaha untuk
melibatkan negara-negara berkembang dalam menganalisis penyebab krisis pangan
dan kekurangan gizi, dan untuk menemukan solusi yang berkelanjutan. Namun,
hampir enam dekade kemudian, bahwa niat layak belum telah terpenuhi di semua
bagian dunia. Awal upaya oleh
Afrika Pemerintah untuk mengatasi situasi ketahanan pangan di benua itu, seperti
Rencana Lagos Aksi (1980-1985) dan Food Regional. Rencana untuk Afrika (1978-1990),
juga gagal karena organisasi dan kesulitan finansial. Namun, dengan fajar baru milenium,
banyak pemerintah Afrika telah berkomitmen untuk meningkatkan belanja publik
pada pertanian dengan menandatangani Maputo Deklarasi Pertanian dan Ketahanan
Pangan pada tahun 2003.
penyebab lainnya
Saluran distribusi yang buruk
dan ketidaksetaraan dalam pangan global.
Distribusi: negara-negara yang telah terdaftar tertinggi perbaikan di
tingkat malnutrisi keseluruhan tidak negara-negara yang telah mengalami tingkat
pertumbuhan tertinggi, menunjukkan bahwa perubahan gizi buruk tidak
proporsional dari pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, negara-negara yang
berhasil mengurangi kesenjangan tersebut
paling tidak sistematis yang dengan tingkat pertumbuhan tertinggi baik,
yang menunjukkan bahwa kebijakan perlu untuk mengatasi kendala sebagian besar
rumah tangga rentan untuk pertumbuhan untuk menjadi nutrisi-sensitif dan
inklusif. Pengurangan agregat dalam kekurangan gizi anak di seluruh negara
seharusnya tidak menyembunyikan fakta bahwa tidak semua segmen manfaat populasi
dari peningkatan dengan besaran yang sama.
Ada kebutuhan untuk kebijakan
yang mengatasi kendala spesifik rumah tangga ditinggalkan kemajuan sehingga
pertumbuhan yang dapatmakanan yang penting sensitif dan inklusif.
"Situasi yang dijelaskan
di atas berlangsung di internasional konteks di mana makanan yang cukup
dihasilkan sehingga tidak ada anak atau orang
di dunia meninggal karena kekurangan makanan atau menderita kekurangan
gizi kronis. Dapat dimaafkan bahwa sekitar 1,3 miliar ton makanan yang setiap
tahunnya terbuang di tingkat global.
Sementara sekitar 10 juta anak
meninggal setiap tahun dari kekurangan gizi sebelum mencapai usia lima tahun,
penduduk negara-negara maju memiliki kemewahan membuang 95 to115 kg makanan per
kapita. Banyak orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrim menghabiskan hampir
70% dari pendapatan mereka dalam bahan makanan. Selain 2 miliar orang menderita
kekurangan gizi, ribuan jutaan hidup di ambang kerawanan pangan dan menderita
efek dari peningkatan harga pangan akibat krisis dari sistem kapitalisme global
yang telah dikenakan pada kita oleh pusat-pusat utama kekuatan "Pernyataan
oleh delegasi Kuba pada rapat pleno kedua Komite Pembangunan Pertanian dan
Ketahanan Pangan.
Faktor sosial budaya dan agama
Menyusui praktek dan menyapih
makanan terkait untuk malnutrisi. Tingkat pendidikan ibu, usia ibu, perkawinan status,
ketersediaan air pipa ditanggung dan kakus telah dilaporkan terkait malnutrisi
. Masa kecil
malnutrisi dicatat oleh efek kontekstual atas dan di atas efek komposisi
kemungkinan, bahwa perbedaan perkotaan-pedesaan terutama dijelaskan oleh status
sosial ekonomi masyarakat dan rumah tangga, yang kekurangan gizi anak lebih
sering terjadi antara anak-anak dari rumah tangga miskin dan / atau masyarakat
miskin dan yang tinggal di masyarakat dirampas memiliki efek independen dalam beberapa
kasus.
Gender dan malnutrisi
Ketidaksetaraan jender keluarga
intra dalam distribusi makanan dan gizi
Status telah diamati. Misalnya, di Bangladesh, 54% dari anak-anak kurang
gizi adalah perempuan dan memiliki kemungkinan 1,44 kali lebih besar untuk
mengalami kekurangan gizi dari laki-laki. Lebih sering daripada
tidak, wajah gizi buruk adalah perempuan. Dalam rumah tangga yang rentan
terhadap kerawanan pangan, wanita berada pada risiko yang lebih besar malnutrisi
dibandingkan laki-laki. Malnutrisi pada ibu, terutama yang yang hamil atau
menyusui dapat mengatur siklus kekurangan yang meningkatkan kemungkinan berat
badan lahir rendah, kematian anak, penyakit serius, kinerja kelas miskin dan
bekerja rendah produktivitas.
Menurut Food and Agricultural Organisasi,
FAO, perempuan dan anak perempuan yang rentan lebih mungkin untuk mati
kekurangan gizi dibandingkan laki-laki dan anak laki-laki. Sosial dan ekonomi
ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan sering berdiri di jalan nutrisi
yang baik Kondisi ini terlihat di Asia Selatan dan Masyarakat Afrika, di mana
anak laki-laki dan laki-laki yang dipilih budaya untuk makan lebih banyak
makanan bergizi seperti telur.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
KEP adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh
rendahnya komsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari atau
gangguan penyakit –penyakit tertentu. Klasifikasi KEP sendiri terbagi tas 3
yakni Marasmus, Kwasiokhor, Marasmik-kwasiokor. Pada semua derajat maupun tipe
KEP ini terdapat gangguan pertumbuhan disamping gejala-gejala klinis maupun
biokimiawi yang khas bagi tipenya. KEP merupaka permasalahan gizi yang sampai
sekarang terus meningkat salah satunya KEP tertinggi yakni di Afrika, negara
berkembang lainnya yakni Indonesia, namun kasus KEP tak sebesar di negara
Afrika
Penyebabnya utama permasalahan gizi buruk di Afrika
yakni tingginya angka kemiskinan, pendidikan yang sangat kurang,ketahan pangan,
kebijakan pemeritah yang kurang, iklim, dan korupsi. Sedangkan di Indonesia
penyebabnya yakni , ketahanan pangan tingkat keluarga, pola pengasuhan anak,
serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.
B. Saran
Mencegah lebih baik daripada mengobati.Istilah ini sudah
sangat lumrah di kalangan kita. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya
peningkatan kasus gizi terutama KEP, maka yang harus tindakan untuk
menekan angka KEP dengan
perbaikan kebijakan pemerintah baik dari segi pendidikan, kesehatan dan
perencanaan program yang dapat menekan angka KEP baik itu di Afrika, Indonesia
dan negara lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
WHO.(2005).Checklist For
Influenza Pandemic Preparedness Planning.(Accessed
25May2007,http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/WHO_CDS_CSR_GIP_20I5.4.pdf)
Malnutrition
in Sub –Saharan Africa: burden, causes and prospects( Accessed, http://www.panafrican-med journal.com/content/article/15/120/pdf/120.pdf)
Malnutrition and Associated
Factors among underfive in a Nigeria Local Government Area, (Accessed http://www.ijcmr.com/uploads/7/7/4/6/77464738/_fijcmr_661_june_4.pdf)
Kasus Gizi Buruk : Empat Provinsi Tak Pernah Absen(accessed,
http://gizi.depkes.go.id/kasus-gizi-buruk-empat-provinsi-tak-pernah-absen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
I received criticism and suggestions of their friends.